Jakarta (11/1) – Wakil Ketua Fraksi PKS DPR-RI Bidang Industri dan Pembangunan, Mulyanto menolak rencana Menteri BUMN Erick Thohir untuk membatasi layanan PLN hanya pada fungsi distribusi.
Menurut Mulyanto ide pembatasan layanan PLN tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Kelistrikan dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang listrik.
“Listrik adalah sumberdaya strategis terkait hajat hidup orang banyak. Bukan sekedar komoditas ekonomi. PLN berkewajiban melaksanakan bisnis listrik secara terintegrasi, mulai dari produksi, transmisi hingga distribusi,” ujar Mulyanto.
Mulyanto minta Pemerintah jangan memaksa meng-unbundling bisnis PLN dan menyerahkan sebagian fungsi lainnya kepada swasta. Sebab selama ini, kata Mulyanto, skema kerjasama PLN dengan swasta tidak adil.
Dengan model kerjasama “take or pay” dimana PLN diwajibkan membeli semua hasil produksi listrik dari pembangkit swasta akan memberatkan keuangan perusahaan plat merah tersebut.
“Dengan kebijakan unbundling ini dimana berlaku ketentuan “take or pay” Pemerintah seolah secara bertahap ingin menyuntik mati PLN karena PLN diwajibkan membeli listrik swasta. Padahal harga yang ditawarkan belum tentu juga efisien,” tegas Mulyanto
Pemerintah seharusnya memperkuat PLN yang notabene perusahaan milik rakyat bukan malah membebani dan membatasi kemampuan untuk berkembang. Selama ini Mulyanto melihat pemerintah terlalu memanjakan pihak independent power producer (swasta). Dalam proyek pembangkit listrik 35 ribu MW, Pemerintah memberikan porsi 25 ribu MW kepada pihak swasta untuk memproduksi. Diperkirakan dari 25 ribu MW yang diserahkan tersebut 75% dikelola oleh perusahaan asing.
“Dengan kondisi hari ini yang surplus listrik, terlanjur komitmen 35 ribu MW dan industri yang lesu demand setrum, ditenggarai akan makin menekan BUMN listrik nasional kita,” jelas Mulyanto.
Mulyanto mengingatkan bahwa saat ini utang PLN makin menumpuk dengan kewajiban membayar cicilan dan bunga yang berat. Liabilitas PLN di 2017 Rp 466 triliun tapi di 2018 meningkat menjadi Rp 565,7 triliun. Angka ini diperkirakan akan naik di tahun 2019.
“Praktis tanpa subsidi dan kompensasi dari Pemerintah, tidak ada laba yang dapat dicatat PLN. Kalaupun muncul laba itu pun masih di bawah 5% dari pendapatan,” tandas Mulyanto.