Jakarta (6/9) – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai kewenangan Ketua Dewan Pengarah BRIN terlampau besar, tidak tepat intuk diberi kewenangan layaknya menteri atau pejabat yang dapat mengeksekusi kebijakan.
“Lazimnya Dewan Pengarah hanya berwenang memberi arahan, pandangan dan rekomendasi terhadap kebijakan dan program yang akan dilaksanakan suatu lembaga. Tidak sampai berwenang memberi persetujuan atau melaksanakan tugas tertentu,” kata Mulyanto.
Mulyanto melihat dalam beberapa hal kewenangan Ketua Dewan Pengarah BRIN melebihi otoritas Menteri. Misalnya mempunyai dua orang wakil yakni Menteri Keuangan dan Menteri Bappenas. Serta memiliki Staf Khusus sebanyak 4 orang.
“Ketua Dewan Pengarah ini juga masuk pada wilayah “executing”, bukan sekedar memberikan arahan. Misalnya kewenangan memberikan “persetujuan” atas suatu kebijakan, bahkan dapat membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgasus) untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di lapangan dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilaksanakan oleh Kepala BRIN,” ujar Mulyanto.
Mantan Sesmenristek era Presiden SBY ini menyebut kewenangan yang diberikan Presiden kepada Ketua Dewan Pengarah BRIN rawan politisasi lembaga ilmiah. Apalagi bila melihat besaran anggaran yang akan dikelola.
Berdasarkan data Kemenristek, dana Iptek yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga pada tahun 2018, 2019, dan 2020 sebesar masing-masing Rp 33, Rp 35 dan Rp 36 triliun.
Bila benar konsolidasi anggaran Iptek akan diwujudkan Pemerintah mengikuti penggabungan lembaga Litbang secara nasional, maka paling tidak dana sebesar 36 triliun Rupiah ini akan dikelola BRIN.
“Jumlah yang cukup besar. Peneliti dan masyarakat perlu memelototi kinerja Dewan Pengarah BRIN ini. Jangan sampai kekhawatiran masyarakat atas politisasi riset menuju tahun 2024 terbukti,” kata politisi yang akrab disapa Pak Mul ini.
Mulyanto menambahkan di tengah Pandemi Covid-19 yang belum usai ini pembubaran Kemenristek, BPPT, BATAN, LAPAN dan LIPI serta peleburan seluruh Lemlitbang Kementerian teknis ke dalam BRIN ini adalah langkah yang tidak tepat.
Katanya, Pemerintah terkesan terburu-buru mengambil kebijakan pembubaran dan penggabungan lembaga riset yang ada. Sebab konsolidasi kerja, SDM, peralatan, laboratorium, lahan percobaan, manajemen dan administrasi riset apalagi budaya riset di masing-masing lembaga membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
“Secara de jure, tidak ada dasar hukum yang menjadi cantolan Perpres 78/2021 tentang BRIN terkait posisi Dewan Pengarah dalam struktur organisasi BRIN termasuk dalam UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Iptek (Sisnas Iptek) maupun di dalam UU No. 38/2008 tentang Kementerian Negara.
Memang pernah ada pasal dalam RUU HIP. Ini kan baru RUU dan itu pun sudah didrop dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas),” jelas Mulyanto.
Secara substansial Mulyanto menegaskan, BRIN tidak membutuhkan Dewan Pengarah dalam menjalankan tugasnya, apalagi yang bersifat ideologis dari BPIP.
“Saya pribadi tidak setuju, BRIN memiliki dewan pengarah dari BPIP, logikanya kurang masuk. Kalau dicari-cari mungkin saja ada hubungan antara haluan ideologi Pancasila dengan riset dan inovasi, namun hubungan itu terlalu mengada-ada dan memaksakan diri,” kata Mulyanto.
“Sebaiknya lembaga litbang ini tidak dipolitisasi. BRIN adalah lembaga ilmiah biar bekerja dengan dasar-dasar ilmiah objektif, rasional dengan indikator out come yang terukur. Jangan dibebani dengan tugas-tugas ideologis”, jelas dia.
Untuk diketahui kewenangan Dewan Pengarah BRIN sebagaimana dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 pada pasal 7 ayat (3) berbunyi:
“Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki kewenangan untuk memberikan arahan, masukan, evaluasi, persetujuan atau rekomendasi kebijakan dan dalam keadaan tertentu dapat membentuk Satuan Tugas Khusus untuk mengefektifkan pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilaksanakan oleh Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b,” bunyi pasal dalam salinan Perpres tersebut.
Selain itu, dalam ayat (4) tercantum, Dewan Pengarah BRIN akan dibantu oleh empat orang staf khusus.
“Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Ketua Dewan Pengarah dibantu oleh staf khusus yang bersifat ex-officio dan tidak bersifat ex-officio yang berjumlah paling banyak empat orang.”