Jakarta (3/9) – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto angkat bicara terkait kondisi keuangan PLN. Politisi PKS itu menyebut kondisi PLN saat ini sudah kritis, sehingga perlu bantuan Pemerintah untuk dapat disehatkan.
Namun, Mulyanto tidak setuju Pemerintah menaikan tarif dasar listrik (TDL) sebagai solusi penyehatan PLN. Menurutnya persoalan PLN ini disebabkan perencanaan usaha ketenagalistrikan yang kurang akurat dan beresiko tinggi. Jadi aspek ini yang perlu diperbaiki.
“Pemerintah harus totalitas all out membantu PLN. Jangan mudahnya saja memberikan penugasan tanpa memperhatikan betul kondisi PLN. Agar ujungnya rakyat tidak menerima beban, seperti usulan kenaikan TDL ini.
Bagi PKS opsi menaikan TDL harus dihindari sejauh mungkin. Selain kondisi ekonomi masyarakat yang lemah, karena pandemi, saat ini harga listrik di Indonesia juga sudah relatif tinggi di banding negara-negara ASEAN lainnya”, tegas Mulyanto.
Dengan kondisi keuangan saat ini, lanjut Mulyanto, sulit bagi PLN melakukan pengembangan usaha.
“Dengan irama seperti ini, jangankan untuk berkembang, dapat bertahan saja sudah bagus,” kata Mulyanto.
Sebelumnya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan DPR RI, Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengungkapkan bahwa kondisi keuangan PLN tidak mampu untuk melakukan investasi sesuai yang ditargetkan. Setiap tahun nilai investasi PLN melorot.
Saat ini posisi utang PLN mencapai Rp 500 triliun dengan laba hanya Rp 5 triliun. Karena itu PLN minta bantuan penyertaan modal Pemerintah, agar dapat melaksanakan pengembangan usaha ketenagalistrikan.
Menanggapi kondisi tersebut Mulyanto mengatakan apa yang terjadi di PLN disebabkan karena perencanaan kelistrikan yang lemah. Sebelumnya PLN terus membangun pembangkit listrik batu bara, sementara listriknya tidak diserap pasar.
“Akibatnya, dari sisi, teknis Jawa-Bali surplus listrik hampir mencapai 40%. Dari sisi keuangan, PLN utang sampai Rp 500 triliun untuk investasi kelistrikan.
Kemudian untuk membayar cicilan utang tersebut dan menanggung beban tagihan TOP (take or pay) dari IPP, dimana listrik harus dibayar, baik dipakai atau tidak oleh PLN, maka keuangan PLN tertekan berat. Tidak mampu berinvestasi.
Laba PLN hanya 5 T. Itupun karena ada subsidi dan kompensasi dari Pemerintah. Bila tidak ada, maka keuangan PLN tentu akan minus.
Tanpa investasi, tentu PLN tidak dapat berkembang dan menghasilkan keuntungan. Inilah persoalan riil PLN,” papar Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan itu.
Melihat kondisi ini Mulyanto minta Pemerintah cermat dalam merumuskan RUPTL 2021-2030, yang sampai hari ini belum terbit, terlambat 9 bulan. Termasuk juga dengan program Pemerintah terkait Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Jangan sampai semangat untuk green energy, karena tekanan pihak asing, mengorbankan PLN atau rakyat dengan tarif listrik yang melambung.
“Dengan rencana tambahan PLTS Atap sebesar 3.61 GW pada daerah surplus listrik, maka bukan hanya PLN kehilangan pendapatan sejumlah daya itu, tetapi juga tetap harus membayar TOP.
Diperkirakan sekitar Rp 5,7 triliun per tahun PLN kehilangan pendapatan akibat PLTS Atap ini.