Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto minta Pemerintah merencanakan dan mengendalikan tarif listrik dari sumber EBET (energi baru dan energi terbarukan), agar tidak membebani masyarakat dengan tarif listrik yang mahal.
Demikian disampaikan Mulyanto saat RDP Komisi VII DPR RI dengan Dirjen Gatrik, Dirjen EBTKE dan Dirut PLN, Rabu 15 November tentang draft revisi Rencana Umum Pengusahaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2024-2033.
“Saya khawatir dengan rencana tambahan porsi listrik dari sumber EBET yang mencapai 61 GW dan kontribusi IPP (independent power producer) yang semakin besar, harga listrik akan dikendalikan oleh listrik mahal pembangkit swasta. Hal ini tentu sangat tidak kita inginkan,” tambahnya.
Mulyanto melihat revisi RUPTL tersebut memang semakin memberi ruang bagi berkembangnya listrik berbasis EBET, sesuai dengan target NZE (net zero emission) pada tahun 2060.
Skenario revisi RUPTL tersebut dilakukan melalui skema pengurangan PLTU yang diiringi dengan peningkatan pembangkit EBET dan gas dengan perbandingan 75 persen porsi EBET atau total tambahan daya pembangkit EBET sebesar 61 GW. Naik tiga kali lipat dari tambahan daya yang ada sekarang.
Untuk mendukung rencana tersebut akan dibangun super grid transmisi listrik antar pulau (Grid Nusantara), baik Jawa-Sumatera, Jawa-Kalimantan, maupun Jawa-Bali-Sumba, dll yang membutuhkan dana besar, paling sedikit sebesar USD 25 miliar.
Menurut Mulyanto, Pemerintah tetap harus hati-hati karena rencana itu cukup ambisius dalam pengembangan listrik EBET dan berpotensi untuk menaikan tarif listrik bagi masyatakat. Selain itu perubahan tersebut dapat mendorong keuangan PLN menjadi moderat alias tidak terlalu sehat. Apalagi bila berkaca pada hasil evaluasi RUPTL PLN sebelumnya.
“Karena itu asumsi-asumsi yang digunakan dalam perhitungan RUPTL ini, khususnya terkait dengan kebutuhan listrik dan pertumbuhan ekonomi nasional, harus benar-benar akurat. Jangan sampai meleset seperti RUPTL sebelumnya dengan program 35 GW, yang ujung-ujungnya mengakibatkan PLN oversupply. Ini kan pengalaman pahit yang akibatnya masih terasa sampai hari ini,” tegas Mulyanto.
“Selain itu, yang juga tidak kalah pentingnya adalah soal TKDN. Pengembangan pembangkit EBET ini harus seiring dengan pengembangan kemampuan industri dan teknologi nasional, sehingga kita tidak tergantung pada produk impor terus-menerus,” imbuhnya.