Jakarta (9/9) Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto minta Pemerintah memberikan sanksi kepada PT. Freeport Indonesia (PTFI) karena tidak tepat waktu membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian material tambang atau smelter.
Hingga bulan Juli 2020 progres pembangunan baru mencapai 5,86% dari target seharusnya 10,5%.
Mulyanto minta Pemerintah konsisten dengan aturan yang dibuat, yaitu bersikap tegas dan segera menjatuhkan sanksi kepada PTFI sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Sesuai keputusan Menteri ESDM No.154 K/30/ MEM/2019, ada ketentuan yang mengatur, bahwa kemajuan fisik pembangunan smelter harus paling sedikit 90% dari target yang ada, berdasarkan laporan verifikator independen.
Bila tidak tercapai, maka sanksinya adalah penghentian sementara persetujuan ekspor konsentrat mereka.
Selain itu, perusahaan smelter wajib membayar denda administratif sebesar 20% dari nilai kumulatif penjualan mineral ke luar negeri selama enam bulan terakhir. Serta beberapa sanksi administratif lainnya.
Menurut Mulyanto, hitungan kasar pencapaian kemajuan fisik smelter PTFI masih di bawah 50%. Karena itu PTFI sangat layak diberi sanksi.
“Ini penting. Kalau Pemerintah bersikap lembek dan tidak konsisten terhadap aturan yang ada, jangan heran kalau pengusaha tambang, ogah-ogahan dalam membangun fasilitas ini dan menuntut untuk dapat mengekspor konsentrat.
Bahkan Freeport secara berani dan terang-terangan melempar wacana untuk melanggar UU No.3/2020, dengan mengusulkan penundaan target pembangunan smelter melebihi batas waktu yang ditetapkan UU, yakni tahun 2023.
Sebelumnya pelanggaran UU ini diajukan dengan alasan musibah Covid-19. Kemudian muncul alasan baru, bahwa pembangunan smelter adalah proyek rugi.
Inikan sungguh lugas secara terbuka melawan UU. Kita sudah hapal dengan gaya ini. Karena sudah ada preseden sebelumnya,” tegas Mulyanto.
Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini mengingatkan bahwa Pelanggaran UU No.4/2009 pertama kali dilakukan PTFI tahun 2014 dengan tetap mengekspor konsentrat dan itu berlanjut sampai tahun 2018 (padahal amanat UU No.4/2009, smelter harus beroperasi tahun 2014).
Pada tahun 2018, salah satu syarat bagi PTFI untuk mendapatkan perpanjangan dan perubahan skema dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) adalah pembangunan smelter. Nyatanya hingga hari ini syarat juga tidak dipenuhi. Sekarang PTFI minta relaksasi kembali untuk melanggar UU No.3/2020.
“Menurut saya ini sudah kelewatan. Saya protes keras. Sebab UU dibuat untuk dipatuhi oleh kita bersama, bukan dianggap “sebagai angin lalu”.
Ini benar-benar melecehkan Indonesia sebagai Negara hukum. Menko Luhut Panjaitan juga terkesan hanya galak pada smelter nikel. Tidak terdengar suaranya terkait dengan smelter tembaga PTFI ini.
Karena itu saya mendesak Pemerintah untuk tegas melaksanakan dan mengawal amanat UU No. 3/2020 sebagai perubahan atas UU. No.4/2009 tentang Minerba, khususnya pasal 170A. Pemerintah jangan lembek, apalagi ikut melanggar UU tersebut.
Demi kepentingan hilirisasi hasil tambang nasional kita sudah dua kali merevisi UU Pertambangan Minerba yakni UU. 3 tahun 2009 Jo. UU No. 3/2020. Dalam pasal 170A normanya sangat tegas kewajiban untuk membangun smelter dan pelarangan mengekspor konsentrat bila kewajiban ini tidak dipenuhi,” tandas Mulyanto.