Jakarta (20/7) Pelembagaan sosialisasi dan pembinaan Pancasila seperti masa Orde Baru dinilai Wakil Ketua FPKS DPR RI, Mulyanto masih menyisakan trauma negatif di kalangan masyarakat.
Tafsir tunggal dan indoktrinasi semi militeristik tentang Pancasila, dengan berbagai program litsus menjadi hantu bagi masyarakat.
Untuk itu Pemerintah diimbau perlu mendengar dan mempertimbangkan aspirasi masyarakat terkait keberadaan dan kinerja Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
“Kita semua harus introspeksi diri terkait status dan kiprah BPIP ini. Tidak boleh kita main menang-menangan, terutama terkait dengan alasan kenapa masyarakat kerap mengkrtik keras keberadaan dan kinerja BPIP ini.
Harus dicari akar masalahnya, sehingga energi bangsa ini tidak habis untuk membicarakan hal-hal yang sudah final seperti Pancasila.
Justru yang utama bagi kita adalah bagaimana mengamalkan Pancasila ini secara murni dan konsekuen sebagaimana tafsirnya dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD NRI tahun 1945,” jelas alumni PPSA XV Lemhanas RI.
Menurut Mulyanto, trauma Orde Baru yang melembagakan Pancasila melalui BP7 dan P4 ini belum hilang benar dari ingatan kolektif bangsa ini.
Kala itu, dalam tataran personal, para pejabat tampak keren dalam berwacana, namun miskin dalam pengamalan dan keteladanan ber-Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Dan secara sosial, nilai-nilai Pancasila semakin terlihat timpang antara teori dan praktek. Terbukti masih banyak kasus korupsi, kolusi, nepotisme dan pembatasan penyampaian aspirasi.
“Padahal yang menjadi acuan masyarakat itu adalah pengamalan, keteladan, dan bukti nyata, bukan sekedar wacana tentang Pancasila”, tegas Mulyanto.
Di sisi lain, Mulyanto melihat, prestasi ekonomi, budaya, dan politik luar negeri saat itu juga tidak tampak menonjol.
Itulah kenapa ketika krisis moneter yang diikuti dengan krisis multidimensi terjadi, masyarakat mendesak untuk dihapuskannya kelembagaan BP7 dan P4 tersebut.
“Terkait dengan BPIP, kita juga masih ingat ketika lembaga ini dibentuk kemudian merebak isu soal honor Anggota Dewan Pengarahnya yang kelewat besar.
Hingga akhirnya, Ketua BPIP, Dr. Yudhi Latif yang pemikir kenegaraan dan kebangsaan, saat itu mengundurkan diri.
Namun naasnya, ketika Ketua BPIP yang baru dilantik, dia langsung obral statemen yang menyudutkan peran agama di Indonesia,” ujar Mulyanto.
“Di tengah pandemi Covid-19 yang belum reda, BPIP malah menggelar konser musik dengan kerumunan massa tanpa masker. Lalu muncullah RUU HIP dan RUU BPIP yang ingin memperkuat dasar hukum kelembagaan BPIP dari sekedar Perpres menjadi UU.
Jadi menurut saya terkait kelembagaan BPIP ini memang masih traumatik,” imbuh Mulyanto.
Namun demikian, kata Mulyanto, bukan berarti tanpa BPIP kita tidak dapat mensosialisasikan dan melakukan pembinaan kepada penyelenggara negara dan masyarakat tentang Pancasila.
“Secara kelembagaan kita memiliki Lembaga Kajian MPR dengan program Sosialisasi 4-Pilar MPR; Lemhannas RI dengan program PPSA dan PPRA serta Pemantaban Nilai-nilai Kebangsaan; dll. Kita juga memiliki Dewan Ketahanan Nasional.
Lembaga-lembaga ini sudah teruji baik, bermanfaat serta mendapat kepercayaan publik, karenanya perlu didorong dan dikuatkan dalam rangka Pembinaan Ideologi Pancasila,” jelas Mulyanto.
Untuk itu Mulyanto setuju Pemerintah menimbang ulang keberadaan BPIP. Apalagi Presiden berencana untuk membubarkan 18 lembaga pemerintah yang tidak berkinerja optimal.