Jakarta (11/9) – Terkait pembahasan RUU Cipta Kerja soal pengaturan jaminan produk halal, anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, minta Pemerintah memisahkan otoritas yang mengurus regulasi dan administratif dengan otoritas yang menetapkan fatwa halal.
Menurutnya, Pemerintah bertindak sebagai otoritas regulasi dan administratif sedangkan MUI bertindak sebagai pemegang otoritas fatwa halal. Tidak boleh ada tumpang tindih dan intervensi dalam soal utama ini.
Pengaturan berupa pemisahan yang tegas antara wilayah otoritas Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini sangat penting untuk diperhatikan, karena di satu sisi otoritas MUI terkait dengan keyakinan keagamaan “halal”, sementara di sisi lain otoritas BPJPH terkait dengan “kecepatan” proses adminsitratif penerbitan sertifikasi halal.
Mulyanto menyebutkan, pembahasan RUU Cipta Kerja terkait pengaturan jaminan produl halal ini masih belum tuntas. Sebab Pemerintah menyisipkan pasal baru untuk mempercepat proses sertifikasi produk halal, dengan menempatkan posisi superioritas BPJPH yang dapat menabrak wilayah otoritas penetapan fatwa halal.
Dalam RUU Cipta Kerja pasal 35A Ayat (2) diatur ketentuan mengenai: apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan/menetapkan fatwa, maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal.
Dalam pasal 33 ayat (3) diatur ketentuan, bahwa: “sidang fatwa halal memutuskan kehalalan produk paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari LPH”.
Mulyanto berpendapat pengambilalihan penetapan fatwa halal oleh otoritas administratif tidak masuk nalar dan keyakinan agama. Karena, walau bagaimana BPJPH dan MUI ini adalah dua lembaga dengan wilayah otoritas yang terpisah dan kompetensi yang berbeda. Tidak bisa saling mengambil alih.
“Mempercepat proses penetapan fatwa itu kita setujui, namun pengambilalihan ini akan sangat membingungkan.
Bagaimana mungkin BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal, sementara proses penetapan fatwa halal untuk produk itu sendiri belum selesai?
Nanti akan memunculkan pertanyaan, apa dasar “kehalalan” dari sertifikat BPJPH yang terbit tanpa fatwa MUI tersebut?
Ini soal krusial. Jangan sampai kita memasang pasal “bom waktu”, yang kelak bisa meledak dan menuai protes ummat.
Pemerintah perlu cermat dalam soal ini. BPJPH Tidak bisa serta merta mengambil alih proses penetapan fatwa halal MUI,” tegas Mulyanto.
Mulyanto minta Pemerintah perlu merumuskan kembali soal instrumen administratif ini, agar proses penetapan fatwa halal di MUI ini menjadi lebih cepat. Baik melalui penyederhanaan proses, ketentuan jumlah dan unsur anggota sidang fatwa, maupun pendayagunaan MUI daerah.
“Pasal ‘ancam-mengancam’ terkait soal fatwa kehalalan ini semestinya dapat kita hindarkan,” pesan Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini.
“Pembahasan RUU Cipta Kerja terkait soal jaminan produk halal ini sudah menyepakati, bahwa MUI tetap menjadi otoritas tunggal dalam penetapan fatwa halal.
Karena MUI adalah representasi para ulama yang berkompeten dalam soal fatwa, yang juga mewakili seluruh ormas Islam yang ada di tanah air,” tandas Mulyanto.