Jakarta (28/10) – Anggota Badan Legislasi DPR RI, Mulyanto minta insiden dicantumkannya Pasal 46 UU Migas dalam RUU Cipta Kerja diusut tuntas. Menurut Mulyanto, tindakan menambahkan, mengurangi atau mengubah naskah RUU yang sudah disahkan adalah pelanggaran hukum yang serius. Untuk itu Wakil Ketua Fraksi PKS ini minta, agar masalah ini dituntaskan.
“Yang jadi pertanyaan apakah dimasukannya pasal tersebut dalam naskah 5 Oktober setelah disahkan di sidang paripurna DPR adalah perbuatan sengaja atau sekedar soal kelalaian.
Karena di hari terakhir Panja RUU Ciptaker, sebelum diambil keputusan tingkat satu dalam Pleno Baleg bersama Menteri terkait, pasal tersebut telah disepakati untuk didrop. Namun kenapa pasal tersebut bisa muncul kembali bahkan setelah RUU Ciptaker disahkan di Rapat Paripurna?” tanya Mulyanto.
Mulyanto menilai penambahan pasal 46 UU Migas ini yang menjadi pangkal utama dari serangkaian masalah revisi naskah RUU Cipta Kerja, yang ditengarai lebih dari 5 kali hingga berujung pada terbitnya naskah setting akhir dari Setneg. Pemerintah kembali mendrop pasal tersebut dari naskah RUU Ciptaker setebal 1187 halaman.
“Ini soal penting yang harus dijawab, agar praktek bernegara kita, khususnya pembentukan perundang-undangan dapat terus kita jaga dan pelihara sebagai proses perwujudan kekuasaan legislatif yang “sakral”.
Ini adalah soal marwah DPR RI dan bahkan kalau kita mau tarik ke atas secara lebih serius, ini adalah soal “kesucian” kehidupan demokrasi kita.
Kalau naskah sepenting itu, sebagai output dari proses formil pembentukan perundangan yang legal, saja tidak luput dari kelalaian atau kesengajaan. Dan kemudian muncul drama berupa gonta-ganti naskah secara ugal-ugalan di luar forum resmi persidangan. Maka apatah lagi prosesnya sendiri, yang lebih tidak terpantau publik,” tegas Mulyanto.
Mulyanto minta pihak terkait menuntaskan masalah ini. Jangan sampai tindak ilegal ini berulang kembali, karena dapat menciderai nilai-nilai demokrasi.
“Sebelumnya pernah heboh kasus pembentukan perundangan yang populer dengan sebutan “ayat tembakau”, dan mungkin juga ada kasus-kasus lain yang tidak terangkat ke publik.
Karenanya ke depan, perlu bagi kita untuk menuntaskan masalah ini. Kemudian menarik hikmahnya, agar di masa-masa yang akan datang tidak terulang kembali hal-hal yang memalukan seperti ini.
Marwah DPR adalah marwah demokrasi. Ini wajib kita jaga bersama, agar kehidupan demokrasi politik kita dari hari ke hari semakin baik,” tandas Mulyanto.