Jakarta (29/1) – Menanggapi isi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto minta Pemerintah secara bertahap mengurangi bauran pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Mulyanto mendorong Pemerintah untuk mulai menggunakan sumber energi alternatif sebagai bahan bakar PLTU. Alasannya selain karena aspek lingkungan, harga batu bara juga mulai merambat naik.
Diketahui dalam draft revisi RUPTL 2021-2030 Pemerintah masih tetap memasukan opsi pembangunan PLTU. Bahkan Sampai tahun 2024 kontribusi PLTU masih terus naik mencapai 70% dari total bauran energi listrik nasional. Baru setelah tahun 2024 kontribusi PLTU terhadap bauran energi perlahan turun.
Mulyanto mengakui untuk saat ini kebutuhan terhadap PLTU berbahan bakar batu bara memang tidak terhindarkan. Alasan pertama, karena tingkat kebutuhan listrik nasional sangat tinggi. Dan kedua, karena Indonesia terdapat tambang batu bara dalam jumlah yang cukup besar. Dengan demikian pemanfaatan batu bara di PLTU diakui membuat biaya pokok pembangkitan (BPP) PLTU menjadi sangat efisien dan murah.
“Di saat negara-negara lain mulai menghentikan pembangunan PLTU, di Indonesia justru sejak 2015 malah mulai membangun pembangkit jenis ini secara masif sebagai implementasi proyek 35 ribu MWe. Proyek itu dibuat dengan asumsi pertumbuhan kebutuhan listrik mencapai 7-8%.
Tapi nyatanya demand listrik kita sebelum Covid-19 hanya tumbuh di bawah 5% dan makin merosot setelah musibah Covid-19 melanda kita. Hari ini kondisi demand listrik tersebut belum beranjak baik. Menteri ESDM menyebut saat ini terjadi surplus listrik hingga angka 60%,” jelas Mulyanto.
Mulyanto menambahkan berdasarkan data triwulan III 2020 diketahui beban bahan bakar listrik PLN (non-IPP) masing-masing untuk air, batu bara, panas bumi, gas dan bbm adalah masing-masing sebesar 23, 419, 832, 1035, dan 1878 Rp/kWh. Setelah energi air, sumber energi batubara adalah yang termurah. Hanya seperempat dari biaya beban pembangkit listrik berbahan bakar BBM.
Apalagi di tengah tekanan keuangan PLN, dimana utang perusahaan sudah hampir mencapai Rp 500 triliun, peran pembangkit yang efisien dan murah seperti PLTU ini masih diandalkan. Karenanya memang masih dapat dimaklumi bila PLTU masih dibutuhkan dalam jangka pendek sampai menengah.
Namun mulyanto mendesak Pemerintah ke depan, secara perlahan namun pasti, untuk mulai menurunkan kontribusi PLTU ini dalam bauran energi listrik nasional dan menggantikannya dengan EBT, sesuai dengan kebijakan energi nasional (KEN).
Terkait dengan proyek 35.000 MWe, yang terutama dari jenis PLTU, maka ini harus dijadwal ulang sesuai kondisi demand yang ada, agar tekanan surplus listrik tidak semakin kuat,” tandas Mulyanto.