Jakarta (25/1) – Anggota Komisi VII DPR RI ingatkan PLN agar cermat, akurat dan berhati-hati dalam menyusun revisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2021-2030. PLN diminta tidak mengulangi kekeliruan dalam memprakirakan pertumbuhan kebutuhan listrik nasional.
Pada periode sebelumnya, akibat ketidakakuratan perencanaan, PLN mengalami surplus listrik hingga 60%. Angka ini menurut Mulyanto sangat besar dan berpotensi merugikan keuangan PLN.
Model perencanaan sebelumnya mengasumsikan pertumbuhan kebutuhan listrik sebesar 7-8%, padahal realisasinya di bawah angka 5%, apalagi di saat pandemi Covid-19, dimana permintaan listrik industri semakin merosot.
Akibatnya saat itu PLN dipacu untuk menambah jumlah pembangkit dan membuka kerjasama pembelian listrik swasta dengan sistem “take or pay” atau TOP.
“Konsekuensinya, sekarang utang PLN menumpuk hingga Rp 500 triliun serta adanya kewajiban untuk membeli listrik swasta yang tidak dibutuhkan.
Itu semua menekan keuangan PLN dari dua sisi, yaitu sisi investasi dan sisi pembayaran komitmen pembelian listrik swasta,” Mulyanto.
Sebenarnya, kata Wakil Ketua FPKS ini, pembelian listrik swasta tersebut dapat dikurangi, karena saat ini listrik PLN sudah surplus. Namun, karena ada ketentuan penalti dari klausul take or pay (TOP) mencapai 80% dari kapasitas terpasang yang tercantum dalam kontrak, maka pembelian itu terpaksa harus dilaksanakan.
Untuk diketahui, TOP adalah klausul dalam kontrak perjanjian jual-beli listrik (PPA/ power purchase agreement) antara PLN dengan IPP, yang mewajibkan PLN menyerap listrik sebesar prosentase minimal sesuai availability factor (AF) dari kapasitas terpasang. Nilainya dapat mencapai 80% dari kapasitas terpasang pembangkit listrik.
Klausul ini pada prinsipnya adalah insentif untuk mendorong pihak swasta (IPP), agar mereka tertarik berinvestasi di sektor kelistrikan, khususnya bidang pembangkitan. Sekaligus merupakan jaminan, agar listrik yang dihasilkan mereka akan dibeli oleh PLN.
“Jadi revisi RUPTL 2021-2030 ini harus disusun secara cermat, sebagai instrumen pembangun kelistrikan kita.
Dalam konteks ini, memundurkan jadwal penyelesaian proyek pembangkit 35.000 MWe ini adalah suatu kemestian, agar tekanan surplus listrik ini dapat dikendurkan,” imbuh politisi yang akrab disapa Pak Mul ini.
Selain itu, PKS mendesak Pemerintah untuk turun tangan membantu PLN melaksanakan renegosiasi terkait besaran prosentase TOP (take or pay) atas pembelian listrik swasta dari IPP (Independent Power Producer), untuk membantu meringankan beban PLN yang membayar listrik swasta yang tidak dibutuhkan.
“Sementara ke depan Pemerintah harus tetap menjaga target-target pembangkit energi baru terbarukan (EBT), yang sebesar 23% pada tahun 2025. Selain itu kontribusi pembangkit dari BBM, yang biaya pembangkitannya sangat mahal sudah selayaknya ditekan sampai 0% untuk digantikan dengan sumber gas yang lebih bersih dan cukup tersedia secara domestik,” tegas Mulyanto.