Jakarta (23/9) – Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, kritik Satgas Pengawas Harga Pokok Mineral (HPM) yang dinilai belum optimal melaksanakan tugas. Sehingga sampai hari ini masih ada perusahaan peleburan dan pemurnian (smelter) bijih nikel yang tidak mematuhi ketentuan Peraturan Menteri (Permen) No 11 Tahun 2020, yang di dalamnya mengatur tata niaga dan harga nikel domestik yang harus mengacu pada Harga Patokan Mineral (HPM).
Politisi PKS ini mendesak Satgas HPM agar lebih tegas menindak pengusaha smelter, terutama smelter asing, yang tidak mematuhi Permen No. 11 Tahun 2020. Karena selama pengusaha smelter tidak patuh pada ketentuan yang ditetapkan maka banyak pengusaha nikel lokal dirugikan.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dengan Dirjen Minerba, Asosiasi Penambang Nikel, Batubara, Surveyor, Selasa (22/9) terungkap bahwa selama ini para pengusaha smelter masih berlaku sewenang-wenang dalam menentukan kadar dan harga bijih nikel. Sehingga tidak jarang penambang nikel lokal masih menerima harga jual nikel jauh di bawah HPM.
Menanggapi hal tersebut Mulyanto minta Pemerintah segera mengevaluasi kerja Satgas HPM yang dibentuk oleh Menko Maritim dan Investasi (Menko Marinves) Luhut Binsar Panjaitan. Harusnya Satgas HPM itu bersikap tegas dalam menegakkan atuan HPM sehingga kepentingan pengusaha nikel lokal dapat terlindungi.
Mulyanto menilai selama ini Pemerintah sudah banyak memberi fasilitas kemudahan bagi pengusaha smelter. Seharusnya kemudahan itu digunakan untuk menciptakan iklim kerjasama yang adil dan saling menguntungkan antara pengusaha smelter dengan penambang nikel lokal. Bukan malah mempersulit kepentingan salah satu pihak.
“Menurut saya ini adalah ketidakadilan yang kasat mata. Pemerintah harus bertindak tegas,” ujar Mulyanto.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini mengingatkan bahwa sesuai dengan konstitusi dan UU. No. 3/2020 tentang Pertambangan Minerba, sumber daya minerba ini dikuasai Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk itu pengelolaan dan pengusahaan minerba oleh pemerintah ini tidak boleh merugikan Negara dan masyarakat.
“Pemerintah wajib mengatur, mengawasi dan menindak tegas pelanggaran yang dilakukan para pengusaha smelter tersebut, agar terjadi iklim bisnis yang fair sesuai dengan aturan yang disepakati.
Selain itu, Pemerintah juga harus memikirkan pengembangan dan pemanfaatan nikel yang berkadar rendah di bawah 1.7%. Sampai hari ini, praktek yang terjadi di lapangan adalah nikel dengan kadar rendah dari penambang lokal tersebut ditolak oleh pengusaha smelter dan menumpuk di pabrik pengolahan,” ungkap Mulyanto.
Mulyanto minta Pemerintah segera membuat aturan khusus tentang pemanfaatan bijih nikel berkadar rendah ini, agar dapat dioptimalkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
“Sebab bijih nikel berkadar rendah tersebut jila diekspor masih memiliki harga yang bagus di pasar internasional. Namun sayangnya, pemerintah telah menetapkan pelarangan ekspor bijih nikel,” imbuh Mulyanto.
Seperti diketahui Peraturan Menteri ESDM No. 11/2020 yang merevisi permen ESDM No. 07/ 2017 mengatur agar pelarangan ekspor bijih nikel ke luar negeri tidak mematikan penambang nikel lokal. Permen ini mengatur harga patokan bawah dan harga patokan atas yang ditetapkan sedemikian rupa, sehingga baik penambang maupun pengusaha smelter memiliki keuntungan yang wajar.
“Namun, dalam praktek di lapangan ketentuan ini tidak diindahkan oleh para pengusaha smelter asing, yang masih membeli bijih nikel dari penambang di bawah HPM. Sehingga penambang lokal merasa dirugikan. Sementara mereka tidak punya pilihan karena diberlakukan larangan ekspor nikel.