Jakarta (14/1) – Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto minta Pemerintah menghitung ulang rencana realisasi target lifting minyak 1 juta barel perhari (bph) di tahun 2030. Jangan sampai rencana tersebut hanya bagus di atas kertas tapi sulit diwujudkan.
Mulyanto menilai target itu sangat ambisius. Oleh sebab itu Pemerintah harus bekerja lebih keras jika ingin target tersebut terwujud.
“Sebab bila upaya ini tidak terwujud, defisit transaksi berjalan sektor migas kita akan tetap bengkak. Pada tahun 2019 defisit perdagangan migas Indonesia sebesar USD 9.4 miliar, yang terutama didominasi oleh minyak hasil olahan atau BBM sebesar USD 11.7 miliar.
Sayangnya sampai hari ini beberapa indikator terkait lifting minyak tersebut masih memperlihatkan tanda-tanda yang kurang menggembirakan,” tegas Mulyanto.
Mulyanto mengingatkan target lifting minyak dalam APBN, dari tahun ke tahun terus melorot. Tahun 2019 target lifting minyak ditetapkan sebesar 775 bph. Lalu turun menjadi 755 bph pada tahun 2020. Kemudian kembali turun pada tahun 2021 menjadi 705 bph. Sementara realisasinya, setiap tahun tidak mencapai target APBN secara 100 %. Jadi target lifting minyak sebesar 1 juta bph pada tahun 2030 memang adalah target yang cukup ambisius.
“Dari segi investasi, kinerja Pemerintah di sektor migas juga serupa. Laporan Kementerian ESDM tentang nilai investasi migas tahun 2020 memperlihatkan terjadinya penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya,” imbuh Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini.
Sebelumnya, Menteri ESDM, Arifin Tasrif, menyebutkan sepanjang tahun 2020 realisasi investasi sektor ESDM hanya mencapai angka USD 24,4 miliar. Padahal tahun 2019 lalu realisasi investasi ini mencapai USD 33,2 miliar atau anjlok sebesar 26,5% year on year (yoy).
“Boleh dibilang kinerja investasi migas tahun 2020 merupakan capaian terburuk dalam 10 tahun terakhir. Padahal untuk mencapai target lifting minyak 1 juta bph memerlukan giant discovery melalui eksplorasi yang massif dengan giant investment.
Kalau investasi di sektor ini melorot maka mana mungkin target lifting itu bisa tercapai,” kata Mulyanto.
Untuk merealisasikan target lifting minyak tersebut Mulyanto minta Pemerintah mengelola semua blok migas secara optimal, salah satunya Blok Rokan yang akan dialihkeola dari Chevron ke Pertamina, Agustus 2021 ini.
Blok Rokan merupakan ladang eksploitasi migas terbesar kedua setelah Blok Cepu. Diharapkan blok ini mampu berkontribusi besar dalam realisasi target lifting minyak 1 juta bph.
Karena itu, menurut Mulyanto, Pemerintah perlu mengoptimalkan investasi di Blok Rokan ini. Jika tidak maka resiko bagi turunnya lifting minyak di blok ini adalah suatu keniscayaan. Dan hal ini akan berpengaruh terhadap realisasi target lifting minyak secara nasional.
Hal lain yang menurut Mulyanto perlu dibenahi Pemerintah dalam merealisasikan target lifting minyak 1 juta bph pada tahun 2030 adalah pembentukan lembaga khusus yang bertanggungjawab dalam urusan hulu migas.
“Karena kelembagaan hulu migas yang ada, yakni SKK Migas bersifat sementara, yakni hanya berupa satuan kerja di bawah Kementerian ESDM. Diperlukan revisi UU Migas untuk mengakomodasi keputusan MK yang membatalkan Badan Pelaksana Hulu Migas,” kata Mulyanto.
Perlu kelembagaan hulu migas yang kuat dan efektif dalam menjalankan pengelolaan dan pengusahaan hulu migas nasional.
“Tidak cukup lembaga sementara seperti SKK Migas, yang tidak memiliki otoritas bagi pengusahaan hulu migas untuk dapat mewujudkan target ambisius lifting minyak 1 juta bph pada tahun 2030,” tandas Mulyanto.