Jakarta (24/3) – Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto minta Menteri ESDM, Arifin Tasrif, menjelaskan kepada publik terkait hasil renegosiasi program pembangunan pembangkit 35 ribu MW, terutama terkait klausul TOP (take or pay) oleh pembangkitan listrik swasta.
Hal ini penting diketahui dan ditunggu publik, karena beberapa kali baik dalam rapat kerja maupun di media, Menteri ESDM maupun Dirut PLN berjanji akan melakukan renegosiasi terkait dua hal di atas.
“Kami minta laporan resmi terkait renegosiasi TOP tersebut. Apa saja yang sudah diupayakan Pemerintah agar ketentuan TOP tidak membebani keuangan negara,” kata Mulyanto dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri ESDM, Dirut PLN beserta jajaran, secara semi-virtual di Gedung Nusantara Senin (22/3/2021).
Menurut Mulyanto dua hal tersebut di atas sangat mendesak dilakukan di tengah anjloknya permintaan listrik di saat pandemi dan lemahnya kinerja keuangan PLN.
Pemerintah dan PLN harus gerak cepat merenegosiasikan skema TOP baru bagi pembangkitan listrik swasta. Sebab selama hal tersebut tidak direvisi maka keuangan PLN akan terbebani.
“Tidak boleh berlarut-larut, karena semakin lama dibiarkan, akan semakin menekan kondisi kelistrikan nasional dan keuangan PLN.
Untuk itu Pemerintah agar segera menyampaikan perkembangan hasil renegosiasi ini kepada publik. Publik berhak tahu dan menunggu soal ini,” tegas Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini.
Untuk diketahui sejak tahun 2014, Pemerintah berencana menambah pembangkit listrik sebesar 35 ribu MW, berdasarkan perencanaan yang mengasumsikan pertumbuhan kebutuhan listrik sebesar 7-8 persen.
Namun kenyataannya, pertumbuhan permintaan listrik sebelum dan saat pandemi Covid-19 tidak lebih dari 5 persen. Hari ini saja, terjadi kelebihan pasokan listrik sebesar 30 persen, jauh melebihi batas maksimal cadangan listrik.
Bila program pembangkit 35 ribu MW terus dijalankan sesuai jadwal, maka diperkirakan akan terjadi pembengkakan surplus listrik nasional.
“Ini tentu sangat tidak kita inginkan. Karenanya Pemerintah diminta untuk merenegosiasikan jadwal pembangunan dari program pembangkit listrik yang sudah kontraktual,” lanjut Mulyanto.
Sementara itu, TOP adalah klausul dalam kontrak perjanjian jual-beli listrik (PPA/ power purchase agreement) antara PLN dengan IPP (produsen listrik swasta), yang mewajibkan PLN menyerap listrik sebesar prosentase minimal sesuai availability factor (AF) dari kapasitas terpasang. Nilainya dapat mencapai 80% dari kapasitas terpasang pembangkit listrik.
Klausul ini pada prinsipnya adalah insentif untuk mendorong pihak swasta (IPP), agar mereka tertarik berinvestasi di sektor kelistrikan, khususnya bidang pembangkitan. Sekaligus merupakan jaminan, agar listrik yang dihasilkan akan dibeli oleh PLN. Kebijakan ini cukup tepat di saat kita kekurangan pasokan listrik dan kemampuan modal Pemerintah untuk investasi di bidang pembangkitan masih lemah.
Namun dalam kondisi sekarang, dimana surplus listrik sudah sedemikian tinggi dan keuangan PLN yang tertekan utang mencapai 500 T Rupiah, klausul TOP ini menjadi sangat memberatkan. Karena PLN terpaksa harus membayar listrik yang tidak dipakainya. Akibatnya besaran subsidi listrik akan membengkak. Ujung-ujungnya masyarakat yang dirugikan.
Sebelumnya Mulyanto mendesak agar PLN dan Pemerintah melaksanakan renegosiasi terkait klausul TOP dengan pihak IPP. di tengah merosotnya permintaan listrik seperti sekarang ini. Misalnya penurunan TOP sebesar 20% hingga 30% dari kontrak PPA, selama masa pandemi. Kemudian dapat dikembalikan saat kondisi normal dan pertumbuhan permintaan listrik meningkat sesuai perencanaan.