Jakarta (18/10) – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto memperkirakan kinerja inovasi Indonesia akan terus merosot pasca penggabungan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), empat lembaga penelitian non-kementerian (LPNK) dan empat puluh empat badan penelitian pengembangan di kementerian teknis ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Menurutnya, dalam beberapa waktu ke depan BRIN akan disibukkan oleh urusan konsolidasi kelembagaan, SDM, anggaran dan aset. Dan upaya ini akan semakin rumit, bila terjadi politisasi, karena Ketua Dewan Pengarah BRIN yang baru dilantik adalah Ketua Dewan Pengarah BPIP yang juga Ketua Umum Parpol.
“Saya melihat sedikitnya ada tiga permasalahan besar yang tidak mudah diselesaikan BRIN kalau tidak ada konsolidasi yang kuat. Pertama, masalah kepemimpinan. Kedua, masalah kelembagaan. Dan ketiga masalah pelaksanaan program,” kata Mulyanto.
Mulyanto menjelaskan BRIN akan menghadapi masalah kepemimpinan karena sekarang ini para akademisi dan peneliti sudah terlanjur tidak percaya dengan kompetensi dan kapasitas kepemimpinan BRIN. Kepemimpinan BRIN saat ini dinilai bersifat politis dan ideologis.
“Setidaknya para ahli mempertanyakan alasan Pemerintah menjadikan Anggota Dewan Pengarah Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) secara ex-officio sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN. Padahal kaitan BPIP dengan BRIN ini terpaut jauh.
BRIN merupakan badan riset inovasi yang harusnya bekerja secara independen berdasarkan prinsip dan metodologi ilmiah teknis yang obyektif dan rasional. Sementara BPIP sangat ideologis. Kalau mau dicari-cari hubungannya, ya ada juga. Namun terlalu dipaksakan. Karena bukan hanya BRIN, semua Kementerian dan lembaga, secara filosofis, dasar hukumnya juga sudah berdasarkan Pancasila,” imbuh Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini.
“Apalagi Ketua Dewan Pengarah BRIN tersebut adalah Ketum Parpol, yang dikenal tidak mempunyai reputasi ilmiah yang mumpuni. Jadi menjadi wajar, kalau kita khawatir terjadi politisasi riset,” tegas Mulyanto.
Secara kelembagaan Mulyanto juga melihat BRIN akan menghadapi tantangan yang berat.
Penggabungan Kemenristek, LPNK dan badan litbang kementerian teknis ini bukan pekerjaan yang ringan, khususnya dalam mengatur susunan organisasi, dan tata kerja lembaga serta membangun budaya kerja. Terbukti saat Kemenristek digabung dengan Dirjen Dikti, yang akhirnya tidak bertahan lama.
Tugas pokok dan fungsi lembaga membengkak dan campur-aduk, mulai dari fungsi perumusan, penetapan sampai fungsi pelaksanaan kebijakan.
Padahal lazimnya fungsi perumusan dan pelaksanaan kebijakan disusun dalam lembaga yang terpisah. Agar jelas terbedakan antara tanggungjawab regulator dan doers (pelaksana).
“Yang ada sekarang ini sudah melanggar fatsun kelembagaan,” ujar Mulyanto.
Sejalan dengan dua kendala tadi, Mulyanto melihat BRIN akan mengalami kerumitan dalam aspek pelaksanaan.
“Contohnya penggabungan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Mungkin para pembisik Presiden menganggap bahwa BATAN dan LAPAN ini lembaga penelitian biasa, sehingga dapat digabung begitu saja ke dalam BRIN.
Perlu ditegaskan, bahwa BATAN dan LAPAN bukan sekedar lembaga penelitian. Memang mereka menjalankan fungsi penelitian di bidang ketenaganukliran dan bidang keantariksaan. Tapi secara umum, BATAN dan LAPAN adalah LPNK yang mengemban amanah strategis khusus.
BATAN bertugas menyelenggarakan ketenaganukliran. Sementara LAPAN bertugas menyelenggarakan keantariksaan dan penerbangan. Jadi, tugas kedua lembaga ini luas. Salah satu fungsinya saja melaksanakan penelitian,” ungkap Mulyanto.
Menurut Mulyanto penggabungan kedua lembaga besar ini akan mendatangkan masalah di kemudian hari. Sebab lingkup pekerjaan BATAN dan LAPAN ini sangat rumit. Lembaga ini tidak berdiri sendiri melainkan harus mengikuti ketentuan internasional.
“Saya ambil contoh misalnya terkait safety (keselamatan) dan safe guard (keamanan) nuklir, di BRIN akan menjadi tanggungjawab siapa? Hubungan dengan IAEA, lembaga nuklir internasional, akan ditangani siapa? Sebab keorganisasian nuklir ini terpecah-pecah. Ada organisasi riset (OR) kenukliran, infrastruktur dan lainnya. Akibatnya penanganan keselamatan dan keamanan nuklir ini menjadi ruwet,” kata Mulyanto.
“Itu masalah. Dan masalah-masalah ini akan terus membesar bersama waktu. UU Sisnas Iptek tidak mengamanatkan soal ini. Pemerintah kebablasan,” ujar Mulyanto.
Secara umum, Mulyanto prihatin kelembagaan ristek ini diotak-atik terlalu jauh. Padahal tantangan nasional saat ini sangat berat.
“Karena itu jangan heran kalau kinerja riset dan invovasi kita akan terus melorot. Dulu kita hanya berada di bawah Singapura, Thailand dan Malaysia. Sekarang kita sudah berada di bawah Brunai dan Vietnam, bahkan Philipina, berdasarkan penilaian Global Inovation Index (GII) tahun 2021.
Ini artinya kinerja riset dan inovasi kita terus merosot. Hari ini kita hanya berada di atas Kamboja dan Laos. Ini kan memperihatinkan.
Dengan kondisi kepemimpinan, kelembagaan dan pelaksanaan seperti itu saya pesimistis Indonesia bisa mengejar ketertinggalan di antara negara-negara ASEAN,” tandas Mulyanto.
Sumber Foto : Biro Sekretariat Presiden