Jakarta (17/8) – “Memasuki usia yang ke-78 tahun, Indonesia haruslah semakin berdaulat dalam mengelola sumber daya energi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Jangan sampai kita tergantung, didikte atau dicampurtangani oleh pihak asing, apapun alasannya”, demikian dikatakan Mulyanto dalam rilisnya menyambut Hari Kemerdekaan RI, Kamis, 17/8.
Mulyanto, yang Anggota Komisi VII DPR RI, menyebut bahwa ketahanan energi adalah soal ketersediaan, keterjangkauan harga dan aksesabilitas masyarakat terhadap energi. Soal ini kita masih lemah.
“Komoditas minyak misalnya, lebih dari separo masih diimpor. Kita telah menjadi negara net importer minyak sejak tahun 2016,” kata Mulyanto.
Visi lifting minyak tahun 2030, sebesar 1 juta barel per hari (BPH), masih menjadi mimpi. Faktanya, target lifting minyak secara tahunan terus turun dan capaian realisasinya juga tidak sampai seratus persen. Sementara demand minyak kita terus meningkat. Akibatnya, impor minyak setiap tahun semakin bertambah.
Terkait gas alam, produksinya cukup, bahkan mampu mengekspor sebanyak 30 persen dari produksi nasional. Namun, terkait dengan gas LPG, Indonesia sangat tergantung pada produk impor. Dari tahun ke tahun demand terhadap gas LPG semakin meningkat, akibatnya impor gas LPG juga terus bertambah. Impor gas LPG menyumbang defisit transisi berjalan sektor migas yang cukup signifikan.
Soal energi listrik, secara umum produksi kita cukup. Bahkan surplus untuk Jawa dan Sumatera, sehingga muncul wacana untuk mengekspor listrik dari sumber EBT ke Singapura.
Dari aspek keterjangkauan harga atau daya beli masyarakat, ketahanan energi kita masih lemah. Terbukti dari produk energi yang utama digunakan masyarakat adalah komoditas subsidi, baik bbm, gas LPG, ataupun listrik.
“Tanpa subsidi dari negara, maka harga energi masih tidak terjangkau oleh masyarakat. Akibatnya, ketika harga energi dunia melonjak, seperti saat perang Rusia-Ukraina yang lalu, maka beban subsidi negara semakin berat,” kata Mulyanto.
Sementara itu, dari sisi aksesabilitas, ketahanan energi kita juga masih lemah, terutama aspek pengawasan.
Secara berkala masih ditemukan kasus-kasus kelangkaan komoditas subsidi baik solar, pertalite ataupun gas melon 3 kg, seperti yang baru-baru ini terjadi.
“Penyebab utamanya, selain karena peningkatan demand, juga akibat penyimpangan dalam distribusi terutama ke perkebunan besar, pertambangan dan industri, serta pengoplosan,” ujarnya.
Sementara itu, aksesabilitas terhadap listrik, yang diukur melalui rasio elektrifikasi, ketahanan energi kita masih 98.7 persen, sehingga masih ada daerah-daerah yang gelap dan setengah gelap.
“Pemerintah sejak tahun 2020 menargetkan rasio elektrifikasi nasional mencapai sebesar 100 persen. Namun faktanya sampai hari ini target itu tidak tercapai.
Kita berharap di usia yang ke-78 tahun ini, Indonesia dapat merdeka dari kegelapan listrik,” imbuhnya.