Jakarta (29/3) – Kebakaran yang melanda Kilang RU (refinery unit) VI Balongan, Indramayu, Senin pagi (29/3/2021) diperkirakan akan berdampak pada jumlah produksi BBM Nasional.
Karenanya Pemerintah harus ekstra kerja keras untuk melaksanakan recovery, meningkatkan kinerja pengembangan dan pembangunan kilang BBM nasional.
Sebab selama ini pengembangan dan pembangunan kilang BBM ini masih sangat lamban.
“Hampir 25 tahun sejak pengoperasian RU VII Kasim di Papua pada tahun 1997, dengan kapasitas 10 ribu barel per hari (bph), maka praktis tidak ada lagi pembangunan kilang minyak baru.
Hari ini dari total 6 buah kilang yang ada (karena RU I Pangkalan Brandan ditutup operasi tahun 2007) Pertamina mampu menghasilkan BBM sebanyak 850 – 950 ribu bph, dimana kontribusi RU VI Balongan sebesar 16% dari total produksi kilang atau 125 ribu bph yang kemudian ditingkatkan menjadi 150 ribu bph.
Kita belum tahu apakah pasca musibah ini, RU VI Balongan dapat mempertahankan tingkat produksinya. Bila tidak maka kita akan kehilangan produksi bbm sejumlah 16% tersebut. Kita berdoa, agar hal ini tidak terjadi,” demikian disampaikan Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, menanggapi insiden kebakaran kilang minyak Pertamina di Balongan.
Mulyanto menambahkan sebelumnya Pertamina berencana mengembangkan kilang-kilang yang ada dan menambah 2 kilang baru, yakni Kilang Tuban dengan kapasitas terpasang 300 ribu bph dan Kilang Bontang. Mulyanto menilai bila rencana ini sukses maka Pertamina diperkirakan akan mengolah minyak sebesar 2.2 juta bph dan mampu mencapai swasembada BBM di tahun 2023.
“Namun rencana ini serasa menjadi mimpi. Kilang Tuban terus molor pembangunannya, Kilang Bontang dibatalkan karena kekurangan lahan, dan terakhir terjadi musibah kebakaran di Kilang Balongan,” imbuh Mulyanto.
Mulyanto memperkirakan akan terus terjadi peningkatan impor BBM akibat sedikitnya jumlah dan kapasitas kilang kita. Dampaknya defisit transaksi berjalan dari sektor migas akan melonjak.
“Dengan kebutuhan BBM hari ini yang sebesar 1.6 juta barel, maka praktis kekurangannya sebesar 800 ribu bph dipenuhi dari impor,” jelas Mulyanto.
Data BPS menunjukkan, bahwa BBM olahan mendominasi defisit transaksi migas nasional sebesar USD 12 milyar di tahun 2019.
Di sisi lain, pada tahun 2050 Kementerian ESDM memperkirakan kebutuhan BBM nasional mencapai 4 juta bph. Karenanya dapat difahami kalau impor BBM dan defisit transaksi berjalan dari sektor migas ini akan meroket dan membahayakan ketahanan energi nasional.
“Karena itu Pemerintah harus serius menangani pengembangan dan pembangunan kilang baru BBM ini. Semakin hari, soal ini semakin kritis. Pemerintah tidak boleh menunda-nunda dan kalah dari mafia impor minyak,” tegas Mulyanto.
Sumber Foto : Liputan6.com / BPBD Indramayu