Jakarta (22/06) – Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto minta Pemerintah konsisten dengan rencana pembatasan pembangunan smelter kelas 2 (penghasil FeNi dan NPI) dan ekspor FeNi dan NPI. Jangan sampai rencana baik itu berubah-ubah di tengah jalan, karena adanya desakan dari pihak tertentu.
Mulyanto menilai upaya ini penting untuk meningkatkan nilai tambah produk smelter sebelum diekspor ke luar negeri.
“Pembatasan ini diperlukan karena persoalan nilai tambah yang rendah untuk ekspor produk smelter kelas 2, yakni FeNi dan NPI,” ujar Mulyanto.
Seperti diketahui perkiraan harga jual FeNi hanya USD 15.500/t-Ni, sedangkan Ni Matte USD 14.000/t-Ni dan Ni Sulfate USD 20.500/t-Ni.
“Jadi yang harus didorong adalah ekspor stainles steel. Atau minimal nikel sulfate. Sehingga nilai tambah yang kita peroleh meningkat. Sebab selisih nilai tambahnya cukup lumayan,” ujar Mulyanto.
Selain untuk meningkatkan nilai tambah, pembatasan ini juga perlu dilakukan karena ketebatasan/ketahanan cadangan bijih saprolit yang rendah.
“Jadi harus dieman-eman dengan mengekspor hanya produk yg bernilai tambah tinggi, karena cadangan bijih saprodit nikel ini kan terbatas,” lanjut Mulyanto.
Mulyanto berharap ke depan Pemerintah perlu memperkuat industri nikel dengan sejumlah pendekatan. Diantaranya melalui peningkatan ketahanan cadangan dan optimalisasi produksi bahan baku industri, peningkatan optimalisasi dan efisiensi industri pengolahan dan pemurnian.
Selain itu perlu juga dilakukan pengembangan industri fabrikasi manufaktur dan peningkatan TKDN.
“Saya setuju program ini, karena dengan program ini kita benar-benar bergerak semakin ke hilir. Untuk itu peran aktif kementerian perindustrian harus didorong.
Dari sudut pandang KomisivVII DPRI RI sendiri, kita bersyukur karena hari ini akan diputuskan dalam Sidang Paripurna DPR, bahwa Kementerian Perindustrian menjadi mitra Komisi VII. Berarti kita semakin mudah mendorong program hilirisasi ini,” tandas Mulyanto.
Sumber Foto : alatberat.com